Tips Agar Cinta Tak Bertepuk Sebelah Tangan, No. 15 Jarang DIlakukan
Jumat, 26 Februari 2016
BuzzTrendz - Oleh : Ayat Al Akrash
Engkau ingin berjuang, tapi tidak mampu menerima ujian, rusak oleh pujian, tidak sepenuhnya menerima pimpinan dan tidak begitu setiakawan
Engkau ingin berjuang, tapi tidak sanggup berkorban, tidak sanggup terima cobaan dan hanya ingin jadi pemimpin agar pengikut menjadi agak segan
Engkau ingin berjuang, tapi kesehatan dan kerehatan tidak sanggup engkau korbankan dan waktu tidak sanggup engkau luangkan
Engkau ingin berjuang, tapi dirimu tidak engkau tingkatkan, disiplin diri engkau abaikan, janji kurang engkau tunaikan dan kasih sayang engkau abaikan
Engkau ingin berjuang, tapi para tamu engkau abaikan, anak isteri engkau lupakan dan ilmu berjuang engkau tinggalkan
Engkau ingin berjuang, tapi pandangan engkau tidak diselaraskan, rasa bertuhan engkau abaikan dan iman taqwa engkau lupakan
– Qathrunnada –
Benarkah engkau seorang pejuang? Mengaku diri sebagai pejuang, sebagai jundullah, sebagai aktivis, namun akhlak maupun tsaqafahnya tidak mencerminkan hal itu. Mengaku diri sebagai mujahid, namun niat ternoda oleh selain-Nya. Inilah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sindir di dalam Al Qur’an, “Apakah kamu mengira kamu akan dibiarkan saja mengatakan ‘kami beriman’ sedang mereka tidak di uji lagi?” (QS. Al Ankaabut: 2-3)
Sang Pejuang Sejati
Masing-masing kita sebaiknya mengevaluasi diri, apakah kita memang sudah benar-benar menjadi pejuang di jalan-Nya atau jangan-jangan, baru sebatas khayalan dan angan-angan kosong belaka. Inginkan syurga, tetapi tidak siap menggadaikan diri, harta dan jiwa. “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS. 3:142). Ya, kita mengira akan masuk surga dengan pegorbanan yang sedikit, seakan ingin menyamakan diri dengan hukum ekonomi kapitalis, “Mendapatkan output yang sebesar-besarnya, semaksimal mungkin, dengan input yang seminimal mungkin.”
Aduhai…, sesungguhnya hari akhir itu adalah perkara yang besar. Dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi itu, sangat mahal harganya. Rasulullah SAW bersabda, “Generasi awal sukses karena zuhud dan teguhnya keyakinan, sedang ummat terakhir hancur karena kikir dan banyak berangan muluk kepada Allah.”
Saat nasyid-nasyid perjuangan dilantunkan, gemuruh di dalam dada menjadi berkobar-kobar untuk berjuang. Tetapi sayang, ternyata hanya tersimpan di dalam dada dan semangat itu ikut surut seiring dengan berakhirnya lantunan nasyid. Tidak keluar dalam amaliyah yang nyata. Demi Allah…, keimanan bukanlah dilihat dari yang paling keras teriakan takbirnya, bukan pula dari yang paling deras air matanya kala muhasabah, dan bukan pula dari yang paling ekspresif menunjukkan kemarahan kala melihat Israel menyerang Palestina. Bukan pula dari yang paling banyak simbol-simbol keagamaannya. Karena itu semua hanya sesaat. Sesungguhnya keistiqomahan dalam berjuang, itulah indikasi keimanan sang pejuang yang sebenarnya. Pejuang yang sabar menapaki hari-hari dengan mengibarkan panji Illahi Rabbi. Yang selalu bermujahadah mengamalkan Al Qur’an. Teguh pendirian. Tak kenal henti. Hingga terminal akhir, surga.
Pengorbanan
Apakah dengan memakai sedikit waktu untuk berda’wah, sudah menganggap diri telah melakukan totalitas perjuangan? Padahal para nabi tidaklah menjadikan da’wah ini hanya sekedarnya saja, tetapi sebagaimana dicantumkan dalam Surat Nuh ayat 5, “….Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam.” Pun dalam surat Al Muzzamil, “Hai orang yang berkemul, bangunlah lalu berilah peringatan, dan Rabbmu agungkanlah.” Sejak ayat itu turun, sang nabi akhir zaman selalu siaga dalam kehidupan. Bahkan, hingga menjelang ajalnya, Rasulullah tengah menyiapkan peperangan untuk menegakkan Al Haq.
Sang pejuang, tetapi makanannya adalah sebaik-baik makanan, dan pakaiannya adalah sebaik-baik pakaian. Dan dengan tanpa rasa berdosa, asyik menonton sinetron-sinetron cinta dan acara gosip, mendengar lagu-lagu cinta, berghibah, perut kenyang, banyak tidur, dan mengabaikan waktu, lalu berharap mendapatkan syurga? Sangatlah jauh… bagaikan punduk merindukan rembulan. Alangkah berbedanya dengan yang dicontohkan Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar, Mush’ab bin Umair dan para sahabat yang lainnya. Yang setelah mendapatkan hidayah, mereka justru menjauhi kemewahan hidup. Mereka mampu secara ekonomi, tetapi mereka tidak rela menikmati dunia yang melalaikan.
Seorang pejuang harus memahami jalan mendaki yang akan dilaluinya. Sang Nabi tak pernah tertawa keras apatah lagi terbahak-bahak. Dan hal itu dikarenakan keimanan yang tinggi akan adanya hari akhir, akan adanya surga dan neraka. Ada amanah da’wah yang besar di pundaknya, lantas bagaimana mungkin seorang pejuang akan banyak bercanda? Imam Syahid Hasan Al Banna memasukkan “keseriusan” atau tidak banyak bergurau sebagai bagian dari 10 wasiatnya. Dan dikisahkan pula bahwa Sholahuddin Al Ayyubi tak pernah tertawa karena Palestina belum terbebaskan.
Keringnya suasana ruhiyah di lingkungan kita, bisa jadi karena di antara kita -saat di luar halaqah- jarang saling bertaushiyah tentang hari akhir. Bahkan sungguh aneh, dapat tertawa dan tidak menyimak ketika Al Qur’an dibacakan di dalam pembukaan ta’lim. Atau saat kaset murottal diputar, mengobrol tak mengindahkan. Yang mengindikasikan bahwa Al Qur’an itu baru sampai di tenggorokan saja. “Akan tiba suatu masa dalam ummat ketika orang membaca Al Qur’an, namun hanya sebatas tenggorokannya saja (tidak masuk ke dalam hatinya).” (HR. Muslim). Dimanakah air mata keimanan? Ya Rabbi…, ampunilah kelemahan kami dalam menggusung panji-Mu…
Kederisasi generasi sebaiknya tidak melulu tentang pergerakan dan mengabaikan aspek keimanan. Keimanan harus senantiasa dihembuskan dimana saja karena ia adalah motor penggerak yang hakiki. Iman adalah akar.
20 Muwashofat Sang Pejuang
Setidaknya, ada 20 kriteria yang harus dimiliki pejuang, yang disarikan dari Al Qur’an dan hadits, yaitu :
- Aqidahnya bersih (saliimul ‘aqiidah)
- Akhlaknya solid (Matiinul khuluqi)
- Ibadahnya benar (Shohiihul I’baadah)
- Tubuhnya sehat dan kuat (Qowiyyul jismi)
- Pikirannya intelek (Mutsaqqoful fikri)
- Jiwanya bersungguh-sungguh (Mujaahadatun nafsi)
- Mampu berusaha mencari nafkah (Qaadiirun ‘alal kasbi)
- Efisien dalam memanfaatkan waktu (Hariisun ‘alal waqti)
- Bermanfaat bagi orang lain (Naafi’un lighoirihi)
- Selalu menghindari perkara yang samar-samar (Ba’iidun ‘anisy syubuhat)
- Senantiasa menjaga dan memelihara lisan (Hifdzul lisaan)
- Selalu istiqomah dalam kebenaran (istiqoomatun filhaqqi)
- Senantiasa menundukkan pandangan dan memelihara kehormatan (Gaddhul bashor wahifdul hurumat)
- Lemah lembut dan suka memaafkan (Latiifun wahubbul ‘afwi)
- Benar, jujur dan tegas (Al Haq, Al-amanah-wasyja’ah)
- Selalu yakin dalam tindakan (Mutayaqqinun fil’amal)
- Rendah hati (Tawadhu’)
- Berpikir positif dan membangun (Al-fikru wal-bina’)
- Senantiasa siap menolong (Mutanaashirun lighoirihi)
- Bersikap keras terhadap orang-orang kafir (Asysyidda’u ‘alal kuffar)
Penutup
Menjadi pejuang, hendaknya bukanlah angan-angan kita belaka. Menjadi pejuang, memiliki kriteria (muwashofat) yang harus di penuhi. Jangan sampai kita terkena hadits ini, “Akan datang suatu masa untuk ummatku ketika tidak lagi tersisa dari Al Qur’an kecuali mushafnya dan tidak tersisa Islam kecuali namanya dan mereka tetap saja menyebut diri mereka dengan nama ini meskipun mereka adalah orang yang terjauh darinya.”(Ibnu Babuya, Tsawab ul-A mal).
Pejuang di jalan-Nya hendaknya bukan dari kacamata kita, tetapi dari kacamata Allah Subhanahu wa Ta’ala. Alangkah ruginya bila kita menganggap diri sebagai pejuang, padahal dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita tak ada apa-apanya. Maka, bersama-sama kita memuhasabahi diri, agar cinta kita kepada-Nya bukan hanya angan semata, agar cinta kita tak bertepuk sebelah tangan. Karena pembuktian cinta haruslah mengikuti dengan keinginan yang dicinta. Jika tidak, maka patut dipertanyakan kebenaran cintanya itu. Cinta sejati, tidak hanya dimulut dan disimpan di dalam dada saja, tetapi harus dibuktikan, agar sang kekasih percaya bahwa kita mencintainya. Kita mencintai-Nya dan Dia pun mencintai kita. “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya….” (QS. Al Maidah : 54 – 56).
sumber : Akhwatindonesia